Abuya Dimyati, adalah seorang ‘ulama terkemuka yang masih keturunan langsung dari Syaih Imam An Nawawi Al Bantani. Syekh Nawawi atau Mbah Nawawi ini adalah seorang ulama yang begitu besar jasanya membukukan ‘ilmu Syariah dan Tarekat dalam bentuk kitab – kitab yang menjadi acuan utama dari sebagian besar Pesantren – pesantren yang ada di Indonesia. Dengan usia sekitar 90 tahunan, Abuya Dimyati masih sanggup aktif mengajar pesantren pada waktu dhuha, ba’da dhuhur, ba’da ashar, ba’da isya, pertengahan malam (pada bulan Ramadhan, jadwal ngaji tengah malam ditiadakan, karena beliau melakukan sholat tarawih dari mulai jam 9 malam hinga jam 3 pagi, subhanalloh), dan diakhiri dengan menerima tamu setelah sholat shubuh. Luar biasa, hampir tidak ada kata tidur dalam kamus hidupnya.
Ramadhan, 2001
Saya dan Donny tiba di desa Cidahu, Cadasari Pandeglang begitu maghrib menjelang. Dan langsung disambut oleh salah seorang santri untuk menuju ruang tamu. Yang disebut ruang tamu ini adalah sebuah bilik kecil terbuat dari bambu dan kayu dan beratapkan rumbia, sangat sederhana. Sedangkan bangunan pesantren itu sendiri tidak jauh berbeda. Terdiri dari satu aula, satu ruang tamu, serta tiga kelompok kamar santri, yang semuanya terdiri dari bahan yang sama. Benar – benar sangat sederhana.
Kami berdua sengaja datang ke pesantren ini setelah mendapat cerita dari kakak saya, pesan dari kyai syirath, janji dari Gus Acok ( yang saat saya tiba di Ternate, beliau bilang bahwa saya akan menemukan seseorang luar biasa yang bisa dijadikan guru ) dan sebuah getaran hati yang sudah saya rasakan sejak saya pertama kali tinggal di wilayah banten ini. Satu tujuan kami, silaturohim dan sowan untuk mengenal salah satu orang pilihan Alloh ini.
Setelah berbuka seadanya, saya pun mencoba berakrab-akraban dengan sejumlah santri yang ada. Dari informasi yang disampaikan, Abuya hanya punya waktu untuk menemui tamunya setelah sholat shubuh atau ba’da ashar saja, sedangkan kami berdua baru sampai di waktu Maghrib. Artinya, saya harus bersabar dan menginap disitu untuk bertemu beliau di pagi esok hari.
“Lho, sampeyan dari Magelang tho mas. Lha aku pernah nyantri disana 6 tahun ” kata salah satu santri. Dan dari sejumlah santri yang saya ajak bicara, hampir semuanya sudah pernah nyantri bertahun2 di berbagai pesantren sebelum akhirnya melanjutkan di pesantren ini.
Setelah melakukan sholat tarawih berjamaah, kami berdua lebih memilih ikut ke kamar para santri dibanding berdiam di rumah tamu. Jadilah kami ngobrol, berdiskusi, saling cerita layaknya sudah kenal lama, menghabiskan malam menanti pagi shubuh. Saya jadi merasa bernostalgia dengan kondisi waktu nyantri : makan bersama dalam satu wadah, berbagi cerita kehidupan sederhana masyarakat desa, ledek-ledekan antar santri, dan joke – joke seputar pelajaran pesantren.
Dari cerita yang kami dapat, salah seorang santri memberitahukan bahwa Abuya sering mengusir tamu yang tidak berkenan di hatinya (bahkan salah satu presiden RI pun dulu pernah diusir oleh Beliau karena terlalu banyak mengatur), tidak melihat dia kaya atau bukan, pejabat atau bukan. Jadi, kalo memang bertamu, sebaiknya cukup membawa air satu botol aqua, trus salaman, dan sudah. Tidak perlu bicara apa – apa. Karena Abuya tidak menyukai tamu yang mengajaknya bicara berlama – lama. Kewaskitaan beliau sudah cukup untuk mengetahui maksud dan tujuan dari para tamunya.
Saat yang dinanti tiba, begitu beliau masuk ruang aula yang juga sekaligus dijadikan ruang sholat berjamaah, karomahnya langsung saya rasakan memenuhi ruangan. Saya bergetar duduk di dekat Waliulloh ini. Dan sholat shubuhpun saya lewatkan dengan sebuah perasaan luar biasa. Kemudian, saya dan Donny duduk menunggu sampai Abuya selesai wirid.
Sekitar satu jam kemudian, beliau selesai wirid, beberapa tamu selain kami berdua sudah antri. Mereka rata -rata hanya bersalaman, memberikan air dalam botol aqua untuk didoakan, kemudian selesai ( baru – baru ini, saya baca ditemukannya fakta bahwa jika suatu air dibacakan bacaan tertentu, maka molekulnya menjadi berubah sesuai dengan bacaannya tersebut ). Ada juga yang sedikit disapa oleh Abuya, tapi tidak lama. Begitu giliran saya, saya cium tangannya tanpa berani menatapnya, tapi tiba – tiba sebuah suara lembut bertanya :
“Dari mana ?”
“Dari Magelang, buya ”
“Magelang atau Jakarta ?”
Saya tersenyum atas kewaskitaan beliau, “Saya berangkat dari jakarta, tapi saya orang Magelang, buya”
Dan akhirnya kami pun ngobrol dengan diselingi senyum beliau yag menyejukkan. Waktu terasa berhenti. Semua tidak ada. Hanya saya, Abuya Dimyati, dan Alloh.
Bandung, Ramadhan 2003
Satu Rakaat dengan empat takbir sholat ghaib diiringi beberapa butir air mata mengiringi sebuah kabar yang baru saja saya terima, bahwa Beliau baru saja kembali ke Kekasih Sejatinya