Ini Tentang kebiasaan

Photo ini sempat menjadi perbincangan. Disamping meraih berbagai penghargaan di berbagai ajang photography, tidak sedikit yang mengulasnya dalam bentuk tulisan, terutama menyoroti tentang betapa hebatnya perjuangan yang harus dilakukan oleh anak – anak ini untuk mendapatkan pendidikan. Diantaranya ada juga yang mengkaitkan hal ini dengan ketidakmampuan pemerintah dalam melakukan pembanguan infrastruktur dan fasilitas untuk kepentingan rakyat banyak

Saya tidak mau berdebat, mungkin bagi mereka yang tidak mengalaminya, anak – anak ini dianggap luar biasa dan hebat karena mempertaruhkan banyak hal dan terlihat penuh tantangan. Tapi coba tanyakan pada anak – anak itu, apakah mereka merasa jalanan dan jarak tempuh itu menyulitkan mereka ? Bisa jadi jawabannya tidak. Ini masalah cara pandang dan kebiasaan.

Waktu SD, saya juga harus jalan kaki sekitar 2.5 kilomoter atau 5 kilometer untuk pulang-pergi. Memang jalannya sudah cukup bagus, dan mungkin rintangan terburuknya pun hanya berupa pematang sawah. Tetapi ada beberapa teman saya yang tinggalnya lebih jauh dan lebih pelosok, di lereng bukit menoreh, yang jika dihitung jaraknya bisa mencapai 5-7 kilometer untuk satu kali perjalanan atau 10-14 kilometer untuk pulang pergi. Rintangan yang dilalui pun relatif lebih susah.

Dan kami menikmati setiap perjalanan berangkat dan pulang sekolah tersebut. Tidak pernah kami mengeluhkan jarak. Tidak pernah kami mengeluhkan perjalanan. itu karena kami sudah terbiasa.YA, ITU KARENA KAMI TERBIASA !!

Bicara tentang kebiasaan, peningkatan teknologi dan taraf hidup ternyata dapat mempengaruhi dan mengurangi tingkat “struggle” atau kemampuan untuk “fight” seseorang beserta sense of sosialnya. Contoh kecil, orang akan malas ke bank karena transaksi lebih mudah diselesaikan dengan ATM. Orang akan malas beranjak dari duduk atau tidurnya untuk mengganti chanel TV karena sudah ada remote control. Orang akan malas berjalan dua ratus meter ke depan komplek untuk belanja sayur karena lebih nyaman dan cepat naik motor daripada jalan kaki.Orang akan males mengucek pakaian karena sudah ada mesin cuci otomatis. Dan orang lebih senang menggunakan kalkulator untuk menyelesaikan hitungan cepat dan akuratnya dibandingkan melatih kemampuan mencongaknya.

Jangan salah paham, bukan saya anti teknologi, tapi ternyata kita secara tidak sadar menjadi sudah terbiasa dengan hal – hal yang mudah sehingga begitu dihadapkan pada sebuah kesulitan kecil, menjadi cepat mengeluh. Begitu ATM error, langsung mengeluh karena harus antri di Bank.Saat remote rusak, langsung menggerutu hanya karena harus bangkit dari duduknya sejenak dan memencet tombol secara manual.

Lihat saya !! Dulu saya begitu terbiasa ke mana – mana naik angkot. Jarak Serpong – Tangerang (± 20 KM) pun saya tempuh dengan naik angkot pulang pergi. Tetapi begitu punya motor, segala macam legitimasipun saya hadirkan di benak demi menolak naik angkot lagi dan lebih memilih mengendarai motor. Saat saya memilih motor, maka saya kehilangan kebiasaan dalam bentuk “ketahanan” saya dalam menghadapi panasnya suhu angkot. Saya kehilangan kebiasaan “bersabar” dalam menghadapi sering nge-temnya angkot. Saya kehilangan kebiasaan dalam bentuk sense of social yang biasa saya temui saat saya satu angkot dengan para pedagang sayur, para pelajar sekolah, atau bahkan dengan beberapa wanita pengisi malam, dan juga….pencopet !

Begitu saya punya mobil, kembali benak ini merangkai susunan kalimat legitimasi guna mengesahkan dan melakukan pemakluman atas lebih seringnya saya memakai mobil daripada motor. Konsekuensi dari itu, saya kehilangan kebiasaan saya dalam bentuk “ketahanan” berpanas2an dalam helm dan berkusam-kusam dalam pekat asap kendaraan lain. Tidak lagi saya dapat menikmati pemandangan sosial di sekitar dan merasakan sentuhan rasanya. Saya kehilangan “ketahanan” dalam menghadapi hujan deras, jalan tergenang, dan konsentrasi penuh saat melewati jalanan yang licin. Sense of Social saya pun hanya dibatasi kotak segi empat dengan suasana full AC dan alunan musik Jazzy. Begitu melenakan.

Kembali, ini tentang kebiasaan dan kenaikan taraf hidup yang dapat menghilangkan jiwa bertarung dan bertahan, serta rasa sosial kita. Kita semua jadi mudah menyerah, mudah mencari jalan pintas, malas berinovasi. Bentukan dari produk ini pun menjadi bermacam – macam : tukang gorengan menjaga gorengannya agar tetap crispy dengan mencampurkan plastik di dalamnya, orang mencari kekayaan dengan jalan pintas mengkorupsi anggaran, para anggota dewan sibuk memfasilitasi diri dengan berbagai kenyamanan dengan alasan itu dapat menunjang kinerja mereka, hingga sampai pada produ berupa Presidenpun merasa harus membuat jabatan wakil menteri karena merasa masalah yang dihadapinya begitu berat.

Teman, berat atau tidak masalah, menantang atau tidak suatu perjalanan, itu tergantung kebiasaan.

Small House Lizard

Apa itu professional ?

Professional adalah jika anda sedang sibuk mempersiapkan bahan yang akan anda presentasikan, tetapi anda masih dengan senang hati meluangkan perhatian untuk menjawab pertanyaan si kecil yang menanyakan bahasa Inggrisnya sapi, kelinci, dan gajah.

Kemudian menyempatkan diri membuka kamus dan menjawab dengan simpatik saat si anak bertanya tentang bahasa Inggrisnya cicak.